Selasa, 11 Januari 2011

Sikap Pemerintah Terhadap Buruh Migran




Sikap Pemerintah Terhadap Buruh Migran


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pelaku penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Wanita asal Indonesia, Winfaidah, dan dihukum setimpal sesuai dengan yang berlaku di Malaysia . Hal itu diungkapkan Presiden terkait penganiayaan yang dilakukan kepada salah satu pekerja migrant asal Indonesia, Winfaidah . Juru Bicara Presiden, Julian Pasha mengatakan, Presiden menginstruksikan kepada Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Da'I Bachtiar untuk mengawal proses hukumnya . Julian menambahkan, pemerintah mendapatkan kronologis langsung dari Winfaidah . Julian menjelaskan, Presiden menyampaikan bahwa setiap hal yang menimpa TKI tidak akan diabaikan oleh pemerintah . Selain itu, pemerintah juga akan menanggung seluruh biaya pengobatan Winfaidah .

Sikap Pemerintah tersebut merupakan bentuk komitmen perlindungan terhadap buruh migrant Indonesia yang bekerja diluar negeri . Winfaidah diduga menjadi salah satu korban perdagangan manusia . Hal itu dikarenakan, dokumen-dokumen resmi Winfaidah tidak lengkap dan resmi .
Menyikapi hal tersebut, Komisi Nasional Perempuan menyatakan, kasus Winfaidah merupakan akumulasi dari kasus-kasus penganiayaan terhadap pekerja migrant  . Demikian pula kasus ancaman hukuman mati yang dihadapi oleh empat perempuan dari ratusan pekerja Indonesia yang juga menghadapi ancaman hukuman serupa .

Hasil pemantauan Komisi Nasional Perempuan, bersama dengan Komnas HAM menunjukkan bahwa, pertama Malaysia merupakan Negara terbanyak penerima pekerja migrant asal Indonesia yang mencapai 1,2 juta jiwa . Data tersebut belum termasuk jumlah pekerja migrant yang tidak berdokumen (illegal) yang diperkirakan jumlahnya dua kali lipatnya .

Kedua, jumlahh pekerja migrant yang dideportasi dari Malaysia pada tahun 2009 mencapai lebih dari 33 ribu jiwa / Hal itu berarti ada lebih dari dua ribu TKI Indonesia yang dideportasi perbulan .Ketiga, lebih dari seribu pekerja migrant Indonesia yang harus berhadapan dengan hukum setiap tahunnya, 60 persen diantaranya terkait gaji tidak dibayar, 20 persen kasus kekerasan seksual dan 5 persen kasus perdagangan manusia .

Selain kasus tersebut, Komnas Perempuan mencatat berbagai persoalan pelanggaran HAM yang dialami oleh perempuan pekerja migrant, dipaksa bekerja tanpa waktu istirahat, bekerja dari lebih satu majikan tanpa upah yang layak, tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang lain selain majikannya, tidak mendapat libur, dan lain sebagainya .

Dalam hal kekerasan, perempuan pekerja migrant berhadapan dengan penganiayaan secara fisik, secara verbal dalam bentuk caci maki, hinaan dan intimidasi, dan juga secara seksual, khususnya perkosaan . Untuk itu, Isyarat penghentian sementara pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Malaysia oleh Pemerintah yang di lontarkan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, menyusul tragedi Winfaidah, sangat tepat selain kembali merumuskan formula yang tepat agar hak dan kewajiban para pekerja Indonesia agar dapat sejajar dengan para pekerja migran asal negara lain yang juga banyak terdapat di Malaysia. Fks-Mky(27/9)fks



Konferensi Pers “Ratifikasi Konvensi Buruh Migran” Perlindungan Pekerja Migran Belum Menjadi Prioritas Pemerintah Indonesia


19 June 2009 | Kategori: Aktual, Berita, Berita Jaringan, Galeri, Ragam


Persoalan kekerasan yang menimpa buruh migran Indonesia seolah menjadi persoalan tidak berujung. Beberapa waktu yang lalu Indonesia digegerkan kembali dengan kasus kekerasan yang menimpa pekerja perempuan asal Garut, Jawa Barat , Siti Hajar. Tidak berselang lama kasus serupa kembali terulang. Kali ini menimpa Sumasri. Kedua pekerja migran tersebut bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia. Tentu saja mereka hanya sebagian kecil buruh migran Indonesia yang mengalami perlakuan tidak manusiawi dari majikan.
Data BNP2TKI yang dihimpun dari Gedung Pendataan Kepulangan Selapajang atau lebih dikenal dengan terminal IV pada tahun 2008 menunjukkan terjadi 45.250 kasus pelanggaran dan kekerasan yang dilaporkan. Sebanyak 18.789 merupakan pemutusan kerja sepihak, 8.742 karena sakit akibat kerja 8.742 dan 1.889 adalah pelecehan seksual.
Minimnya upaya perlindungan terhadap pekerja migran yang diberikan Pemerintah Indonesia menjadi faktor dominan kerap terjadinya kekerasan terhadap mereka. Padahal para pekerja migran ini setiap tahun menyumbang devisa terbesar setelah migas yakni 82,4 triliun. Hal ini disampaikan oleh Resta dari LBH Jakarta dalam konferensi pers yang dilakukan oleh Tim Advokasi Ratifikasi Pekerja Migran di kantor LBH Jakarta, 18 Juni 2009. Namun, jasa dari pahlawan devisa ini tidak membuat Pemerintah Indonesia segera melakukan tindakan serius demi melindungi mereka dari beragam pelanggaran dan kekerasan. Terbukti, Pemerintah Indonesia lebih memilih menyelesaikan masalah pekerja migran dengan cara sporadis yakni menangani kasus perkasus daripada menyelesaikan berdasarkan akar persoalan masalah, lanjut Resta.
Cara penyelesain seperti ini menurut Taufik dari Solidaritas Perempuan karena Pemerintah Indonesia masih melihat pekerja migran bukan sebagai entitas manusia yang memiliki hak-hak yang harus dilindungi namun, lebih sebagai entitas ekonomi. Akibatnya, seluruh kebijakan yang dibuat Pemerintah jauh dari upaya perlindungan pekerja migran. Undang-undang No. 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri, merupakan satu-satunya instrumen HAM yang kini dimiliki Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada mereka. Sayangnya, dari 109 pasal yang ada dalam UU tersebut tidak lebih dari 8 pasal yang memuat tentang perlindungan.
Tidak bisa ditawar lagi, sisa kepemimpinan SBY-JK yang tinggal enam bulan ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk mengupayakan penyelesaian masalah pekerja migran secara lebih komprehensif. Pemerintah harus segera mengambil langkah kongkrit untuk menyelesaikan persoalan pekerja migran dengan cara yang lebih sistematis.
Meratifikasi Konvensi Internasional 1990 tentang hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya, bisa menjadi salah satu cara melakukan tindakan kongkrit tersebut, imbuh Taufik. Konvensi ini sangatlah penting karena memberikan standar perlindungan yang layak bagi pekerja migran dan keluarganya.
Menurut Resta, jika Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi ini, Indonesia mempunyai kredit poin untuk memapankan peran kepemimpinannya di level internasional dalam hal penegakan standar HAM internasional. Pemerintah Indonesia dengan demikian mempunyai bargaining position yang kuat untuk bekerja sama dengan pemerintah negara-negara tujuan pekerja migran gan menggunakan standar HAM internasional. Masyarakat internasional juga akan memberikan kontrol terhadap pelaksanaan Konvensi ini karena Pemerintah Indonesia akan mempunyai kesempatan melaporkan berbagai pelanggaran ke Komite mengenai kondisi pekerja migran yang buruk di negara-negara penerima seperti Malaysia, Arab Saudi, Singapura dan sebagainya. Yang terpenting, dengan meratifikasi Konvensi ini, seluruh kebijakan tentang pekerja migran harus merujuk standar perlindungan yang tercantum konvensi ini.
Pemerintah Indonesia sebetulnya telah menandatangani Konvensi Internasional Buruh Migran 1990 dan telah dimandatkan dua kali dalam RAN HAM 1998-2003 dan 2004-2009 untuk diratifikasi. Tahun 2005, seharusnya Konvensi telah diratifikasi namun hingga pertengahan tahun 2009 ini tidak juga ada upaya untuk meratifikasinya. Karenanya, Tim Advokasi Ratifikasi Konvensi Buruh Migran yang terdiri dari 20 lembaga yang bergerak dalam isu HAM dan perlindungan buruh migran, didukung oleh Komnas Perempuan, mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Buruh Migran dan Keluarganya demi hukum dan pemenuhan hak asasi manusia. (Nunung Qomariyah)


Pentingnya Perlindungan Buruh Migran

05/08/2009

Masalah perlindungan bagi buruh migran itu sangat kompleks. Mulai dari pra- penempatan sampai purna penempatan. Sebagian besar masalah justru di dalam negeri sendiri, misalnya administrasi kependudukan, pengurusan dokumen, dan lain sebagainya.
Demikian disampaikan oleh Direktur Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan Kerja Bappenas, Dra. Rahma Iryanti, MT dalam diskusi lanjutan, Rabu, 05/08 di ruang SG-4. Dihadiri oleh organisasi nonpemerintah antara lain, Serikat Buruh Migran Indonesia, Komnas Perempuan, Peneliti, Institut For Ecosoc, dan LSM pemerhati buruh migran, serta staf Direktorat Tenaga Kerja dan Pengembangan Kesempatan kerja.

Miftah Farid, mantan buruh migran mengungkapkan, masih banyak buruh migran tidak mendapatkan haknya, juga lemahnya penanganan kasus, kurangnya akses terhadap bantuan hukum serta belum adanya MoU bilateral dengan negara penempatan. Hal ini juga diungkapkan oleh Albertus B. Buntoro perwakilan dari Institut For Ecosoc. Diharapkan pemerintahan mendatang merumuskan kebijakan yang membantu TKI di luar negeri, khususnya masalah perlindungan.

“Sudah saatnya semua pihak yang terkait dalam penanganan permasalahan buruh luar negeri saling berkontribusi dalam merumuskan kebijakan. Dengan mengakumulasi semua potensi secara maksimal, akan menjadi landasan yang kokoh bagi proses pembenahan permasalahan buruh migran Indonesia. Masukan ini memberikan alternatif langkah kebijakan yang akan dituangkan dalam RPJMN 2010-2014 khususnya bidang tenaga kerja luar negeri”, tambah Bu Yanti. (Humas)

Lemahnya Perlindungan Buruh Migran

Oleh: Oki Hajiansyah Wahab
Peminat masalah sosial (Staf Yabima)


Lagi-lagi bangsa kita disajikan pemberitaan soal nasib tragis buruh migran Indonesia di luar negeri. Kasus kekerasan yang dialami Sumiyati mencuat setelah mendapat liputan media.
Pemerintah kita sekali lagi menunjukkan karakternya, yakni bekerja secara reaktif untuk menghindari tekanan publik terkait dengan kasus-kasus BMI. Hal ini menunjukkan belum adanya perubahan mendasar terhadap usaha-usaha untuk meningkatkan perlindungan negara terhadap para pahlawan devisa.
Rendahnya komitmen pemerintah terlihat dari tidak adanya kemauan politik Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi konvensi PBB 1990 tentang Perlindungan terhadap Buruh Migran dan Anggota Keluarganya. Undang-Undang Nomor 39/2004 tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN) harus diakui lebih banyak berkutat pada aspek pengaturan penempatan buruh migran secara administratif semata.
Sudah menjadi rahasia umum juga bahwa pihak yang paling diuntungkan oleh sistem penempatan BMI ke luar negeri saat ini adalah pihak swasta. Bahkan hal itu dijamin dalam UU No. 39/2004 pada Pasal 4 dan Pasal 10. Saatnya pemerintahan merubah paradigma dan politik penempatan BMI-nya, di mana manusia diperlakukan sebagai barang dagangan lewat politik buruh murahnya.
Derita buruk yang menimpa buruh migran kita sejak sebelum pemberangkatan dan ketika bekerja di negeri penempatan bersumber dari skema swastanisasi migrasi yang diadopsi dalam UU No. 39/2004 tentang PPTKILN. Derita buruh migran kita dapat dikurangi jika pemerintah mengubah skema swastanisasi migrasi menjadi nasionalisasi migrasi.
Dengan demikian, kepastian hukum, perlindungan BMI, dan daya tawar BMI tehadap negeri penempatan dapat dijamin dan tidak dialihkan kepada pihak swasta.Kita bisa belajar dari Filipina sebagai negeri yang pendapatan terbesarnya dari remiten para buruh migran. Filipina telah mengadopsi dan meratifikasi berbagai standar internasional, termasuk Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Seluruh Buruh Migran dan Anggota Keluarganya.
Dalam prakteknya, aturan ini dipakai sebagai acuan dalam politik penempatan buruh migrannya. Proses penempatan dilakukan direct hiring, yakni tanpa melalui agen penempatan berlaku. Kedua, kebijakan dari Pemerintahan Filipina karena proses penempatan buruh migran dilakukan oleh pemerintah melalui POEA (Philippines Overseas Employment Agency).
Kebijakan yang sedikit banyak mengurangi beban BMI. Alhasil, menurut penelitian IMWU (Indonesian Migrant Workers Union) di Hongkong, pelanggaran kontrak terhadap buruh migran asal Filipina sangat sedikit terjadi dibandingkan dengan pelanggaran terhadap buruh migran Indonesia.
Kasus Sumiyati semakin memperkuat analisis tentang mendesaknya revisi UU PPTKILN. Menurut data Migrant Care pada 2004, ketika UU PPTKILN itu baru disahkan, kematian buruh migran Indonesia di luar negeri berada pada angka 153 orang. Pada 2009 angka kematian buruh migran Indonesia telah sampai pada angka 1.018 orang atau meningkat 600%. Regulasi, yang diharapkan dapat melindungi para buruh migran, justru berakhir tragis.
Revisi UU PPTKILN menjadi hal yang mendesak untuk dilakukan. Ruang lingkup UU juga harus diperluas dan mencakup juga anggota keluarga buruh migran. PRT (pekerja rumah tangga) migran, buruh migran mandiri, ABK, dan buruh migran tidak berdokumen.Hal tersebut sekaligus menjadi upaya untuk mengembalikan tanggung jawab negara untuk perlindungan buruh migran Indonesia melalui desentralisasi peran kepada pemda dan membatasi peran-peran swasta (PPTKIS) dalam proses migrasi.Revisi UUPTKILN diharapkan dapat menjamin hak-hak dasar buruh migran Indonesia sebagaimana dijamin dalam standar perburuhan internasional.
Di sisi lain, pemerintah juga harus segera membuat MoU dengan negara-negara penerima buruh migran Indonesia. Seperti kita ketahui, akibat tidak adanya MoU bilateral negara pengirim dan penerima, kasus-kasus kekerasan dan perlakukan sewenang-wenang terhadap buruh migran kita akan terus terjadi.
Sebagai contoh, pernyataan Duta Besar Saudi Arabia Abdurrahman yang mengatakan di antara sejuta lebih buruh migran asal Indonesia di Arab Saudi, kasus Sumiati merupakan hal yang jarang terjadi, adalah tidak benar adanya. Faktanya, Migrant CARE mencatat sepanjang 2010 ada 5.563 pekerja rumah tangga yang bermasalah di Arab Saudi. Perinciannya, korban penganiayaan 1.097 orang, 3.568 orang sakit akibat situasi kerja tidak layak, dan 898 orang korban kekerasan seksual dan tidak digaji.
Dalam rangka memaksimalkan perlindungan hukum terhadap buruh migran kita di luar negeri, pemerintah kita juga sebaiknya menguatkan regulasi dengan menggagas konsep liabilitas hukum. Liabilitas harus dipandang sebagai tanggung jawab, keadaan dari seseorang yang terikat dengan hukum dan keadilan guna melakukan sesuatu yang mungkin dipaksakan melalui tindakan. Artinya, kondisi suatu persoalan yang muncul harus memberikan reaksi untuk suatu kewajiban dalam melakukan hal khusus yang dapat dipaksakan melalui tindakan pengadilan.
Indonesia dapat belajar dari sejumlah negara yang sudah lebih dulu menerapkannya. Jerman, Inggris, dan Prancis sudah mengintegrasikannya dalam beberapa regulasi yang mencakup dua aspek.Pertama, aspek hukum perdata yang mencakup masalah kompensasi bagi yang dirugikan. Kedua, aspek hukum pidana yang terkait dengan sanksi fisik yang harus dibebankan kepada pihak yang melakukan tindakan penganiayaan terhadap buruh migran.
Dengan model perlindungan hukum yang demikian, sangat diyakini kemandulan perlindungan terhadap buruh migran kita dapat diminimalisasi. Para buruh migran yang seyogianya dipandang sebagai duta bangsa di berbagai negara, harus mendapat perlindungan hukum maksimal dalam rangka meningkatkan martabat para buruh migran, sekaligus harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata negara-negara lain.
Ide SBY untuk membagi-bagikan ponsel kepada para buruh migran merupakan ide yang baik, tapi tidak cukup tepat untuk mengatasi berbagai persoalan buruh migran. Hal tersebut akan menjadi lebih sempurna jika SBY mengubah paradigma pengiriman buruh migran dan memberikan jaminan perlindungan terhadap para pahlawan devisa kita.Para pahlawan devisa kita tentunya lebih membutuhkan jaminan perlindungan dari negara asal yang mereka cintai tersebut dibandingkan dengan sekadar ponsel.
Artikel ini dimuat di SKH Lampung Post Edisi Rabu, 24 November 2010

Pemerintah, Indonesia, undang-undang, ratifikasi, buruh, migrant, migran, pekerja, worker, labor, babu, jongos, prt, pembantu rumah tangga, perawat, nurse, TKI, TKW, BMI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar